Minggu, 23 Januari 2011

Kebudayaan Suku Bugis dan Suku Makassar



Kebudayaan Bugis-Makassar adalah kebudayaan dari suku-suku Bugis-Makassar yang mendiami bagian terbesar dari jazirah selatan dari pulau Sulawesi. Jazirah itu adalah provinsi Sulawesi selatan sendiri yang sekarang terdiri dari 24 kabupaten. Mengenai asal mula suku Bugis, suku Bugis merupakan suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero Melayu yang masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan.

Suku bugis

Kata Bugis berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana (Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Suku makassar

Nama Makassar berasal dari nama Melayu untuk sebuah etnis yang mendiami pesisir selatan pulau Sulawesi. Lidah Makassar menyebutnya Mangkassara’ berarti Mereka yang Bersifat Terbuka. Etnis Makassar ini adalah etnis yang berjiwa penakluk namun demokratis dalam memerintah, gemar berperang dan jaya di laut. Tak heran pada abad ke-14-17, dengan simbol Kerajaan Gowa, mereka berhasil membentuk satu wilayah kerajaan yang luas dengan kekuatan armada laut yang besar berhasil membentuk suatu Imperium bernafaskan Islam, mulai dari keseluruhan pulau Sulawesi, kalimantan bagian Timur, NTT, NTB, Maluku, Brunei, Papua dan Australia bagian utara. Mereka menjalin kerjasama dengan Bali, Malaka dan Banten dan seluruh kerajaan lainnya dalam lingkup Nusantara maupun Internasional (khususnya Portugis). Kerajaan ini juga menghadapi perang yang dahsyat dengan Belanda hingga kejatuhannya akibat adudomba Belanda terhadap Kerajaan taklukannya.

FALSAFAH kebudayaan

Sirik na pacce merupakan prinsip hidup bagi suku Makassar. Sirik dipergunakan untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau memperkosa harga dirinya, sedangkan pacce dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan. Sering kita dengar ungkapan suku Makassar berbunyi “Punna tena siriknu, paccenu seng paknia” (kalau tidak ada siri’mu paccelah yang kau pegang teguh). Apabila sirikna pacce sebagai pandangan hidup idak dimiliki seseorang, akan dapat berakibat orang tersebut bertingkah laku melebihi tingkah laku binatang karena tidak memiliki unsur kepedulian sosial, dan hanya mau menang sendiri.

Falsafah Sirik

Kalau kita kaji secara mendalam dapat ditemukan bahwa sirik dapat dikategorikan dalam empat golongan yakni : pertama, Sirik dalam hal pelanggaran kesusilaan, kedua sirik yang berakibat kriminal, ketiga sirik yang dapat meningkatkan motivasi seseorang untuk bekerja dan keempat sirik yang berarti malu-malu (sirik-sirik). Semua jenis sirik tersebut dapat diartikan sebagai harkat, martabat, dan harga diri manusia.

Bentuk sirik yang pertama adalah sirik dalam hal pelanggaran kesusilaan. Berbagai macam pelanggaran kesusilaan yang dapat dikategorikan sebagai sirik seperti kawin lari (dilariang, nilariang, dan erang kale), perzinahan, perkosaan, incest (perbuatan sumbang/salimarak)/ yakni perbuatan seks yang dilarang karena adanya hubungan keluarga yang terlalu dekat, misalnya perkawinan antara ayah dan putrinya, ibu dengan putranya dsb.

Dari berbagai perbuatan a-susila itu, naka incestlah/salimarak merupakan pelanggara terberat. Sebab susah untuk diselesaikan karena menyangkut hubungan keluarga yang terlalu dekat, semuanya serba salah. Kalau perkawinan terus dilangsungkan, sengat dikutuk oleh masyarakat, dan kalau perkawinan tidak dilangsungkan, status anak yang lahir nanti bagaimana ? Perbuatan salimarak ini dulu dapat dikenakan hukuman “niladung” yakni kedua pelaku dimasukkan dalam karung kemudian ditenggelamkan kelaut atau ke dalam air sampai mati.

Lain halnya perbuatan asusila lainnya seperti perzinahan, perkosaan, dan kawin lari Penyelesaiannya dapat dilakukan melalui perkawinan secara adat kapan saja, bilamana kedua belah pihak ada persetujuan atua mengadakan upacara abajik (damai). Sesudah itu tidak ada lagi masalah.

Sejak dulu hingga sekarang, perbuatan asusila ini sering kali dilakukan oleh orang-orang tertentu, oleh suku Makassar perbutan tersebut dianggapnya melanggar sirik. Bila perbuatan a-susila terjadi, pihak yang dipermalukan (biasanya dari pihak perempuan yang disebut Tumasirik) berhak untuk mengambil tindakan balasan pada orang-orang yang melanggar siriknya yang disebut “Tumannyala”.4)

Jadi, kalau ada anggapan orang luar yang mengatakan sirik itu “kejam” atau “jahat” memang demikian, akan tetapi dibalik kekejaman itu tersimpan makna hidup yang harus dimiliki oleh manusia untuk menjaga harga dirinya. Lebih kejam atau lebih jahat, bilamana anak yang lahir tanpa ayah, anak haram, kemana anak ini harus memanggil ayah ? Apalagi kalau perbuatan a-susila membudaya di negara kita, jelas harkat dan martabat manusia lebih rendah dari pada binatang. Dekatakan memang nalurinya, sedangkan manusia punya otak, pikiran untuk membedakan mana yang baik dan mana yang salah. Alangkah jahatnya bila perbuatan free seks atau “kupul kebo”, membudaya di negara kita, berapa banyak wanita yang harus jadi korban kebuasan seksual ? Justru kehadiran sirik di tengah masyarakat dapat dijadikan sebagai penangkal kebebasan seks (free seks)

Jenis sirik yang kedua adalah sirik yang dapat memberikan motivasi untuk meraih sukses. Misalnya, kalau kita melihat orang lain sukses, kenapa kita tidak? Contoh yang paling konkret, suku Makassar biasanya banyak merantau ke daerah mana saja. Sesampai di daerah tersebut mereka bekerja keras untuk meraih kesuksesan. Kenapa mereka bekerja keras ? Karena mereka nantinya malu bilamana pulang kampung tanpa membawa hasil.

Jenis sirik yang ketiga adalah sirik yang bisa berakibat kriminal. Sirik seperti ini misalnya menempeleng seseorang di depan orang banyak, menghina dengan kata-kata tidak enak didengar dan sebagainya tamparan itu dibalasnya dengan tamparan pula sehingga terjadi perkelahian yang bisa berakibat pembunuhan.

Ada anggapan orang luar bahwa orang Makassar itu “Pabbambangangi na tolo” (pemarah lagi bodoh). Anggapan seperti ini bagi orang Makassar tidaklah sepenuhnya benar, karena tindakan balasan yang dilakukannya bukan karena mereka bodoh, akan tetapi semata-mata ingin membela harga dirinya. Adalah lebih bodoh bila dipermukaan di muka umum lantas diam saja tanpa ada tindakan apa-apa. Yang jelas, memang marah karena harga dirinya direndahkan di depan umum, tapi bukan brarti bodoh.

Jika orang Makassar merasa harga dirinya direndajkan, jelas mereka akan mengambil tindakan pada orang yang mempermalukan itu. Ada ungkapan orang Makassar “Eja tonpi seng na doang” (nanti setelah merah, beru terbukti udang) maksudnya kalau siriknya orang Makassar dilanggar, tindakan untuk menegakkan sirik itu tidaklah dipikirkan akibatnya dan nati selesai baru diperhitungkan. Ungkapan inilah yang mendorong orang Makassar untuk menjaga kehormatan diri.

Jenis sirik yang keempat adalah sirik yang berarti malu-malu. Sirik semacam ini sebenarnya dapat berakibat ngatifnya bagi seseorang, tapi ada juga positifnya. Misalnya yang ada akibat negatifnya ialah bila seseorang disuruh tampil di depan umum untuk jadi protokol, tetapi tidak mau dengan alasan sirik-sirik. Ini dapat berakibat menhalangi bakat seseorang untuk berani tampil di depan umum. Sebaliknya akibat positif dari sirik-sirik ini, misalnya ada seseorang disuruh untuk mencuri ayam, lalu dia tidak mau dengan alasan sirik-sirik bilamana ketahuan oleh tetangganya.

Mengapa sirik bagi suku Makassar perlu ditgakkan, jawabnya untuk meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Yang menjadi masalah dalam kehidupan manusia ialah adanya dua versi hukum yang saling bertentangan, mnyangkut sirik, yakni hukum adat Makassar menginginkan mengambil tindakan balasan terhadap orang-orang yang merendahkan martabatnya dalam arti kata bisa main hakim sendiri, sedang hukum positif (KUHP) melarang sama sekali melakukan tindakan main hakim sendiri. Suatu prinsip bagi suku Makassar, kalau harga dirinya direndahkan, akan melakukan tindakan balasan, Dalam ungkapan orang Makassar “Teai Mangkasarak punna bokona lokok (bukan orang Makassar kalau bahagian belakangnya luka) maksudnya kalua luka itu berada di bagian belakang berarti orang itu takut berhadapan dengan lawannya, sebaliknya kalau luka itu ada di bagian depan menandakan keberaniannya.

Istilah Pacce

Pacce secara harfiah bermakna perasaan pedih dan perih yang dirasakan meresap dalam kalbu seseorang karena melihat penderitaan orang lain. Pacce ini berfungsi sebagai alat penggalang persatuan, solidaritas, kebersamaan, rasa kemanusiaan, dan memberi motivasi pula untuk berusaha, sekalipun dalam keadaan yang sangat pelik dan berbahaya.

Dari pengertian tersebut, maka jelasnya bahwa pacce itu dapat memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa, membina solidaritas antara manusia agar mau membantu seseorang yang mengalami kesulitan. Sebagai contoh, seseorang mengalami musibah, jelas masyarakat lainnya turut merasakan penderitaan yang dialami rekannya itu. Segera pada saat itu pula mengambil tindakan untuk membantunya, pakah berupa materi atau nonmateri.

Antara sirik dan pacce ini keduanya saling mendukung dalam meningkatkan harkat dan martabat manusia, namun kadang-kadang salah satu dari kedua falsafah hidup tersebut tidak ada, martabat manusia tetap akan terjaga, tapi kalau kedua-duanya tidak ada, yang banyak adalah kebinatangan. Ungkapan orang Makassar berbubyi “Ikambe Mangkasaraka punna tena sirik nu, pacce seng nipak bula sibatangngang10) (bagi kita orang Makassar kalau bukan sirik, paccelah yang membuat kita bersatu).

FALSAFAH “SIPAKATAU”

Sesungguhnya budaya Makassar mengandung esensi nilai luhur yang universal, namun kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita menelusuri secara mendalam, dapat ditemukan bahwa hakikat inti kebudayaan Makassar itu sebenarnya adalah bertitik sentral pada konsepsi mengenai “tau” 11) (manusia), yang manusia dalam konteks ini, dalam pergaulan sosial, amat dijunjung tinggi keberadaannya.

Dari konsep “tau” inilah sebagai esensi pokok yang mendasari pandangan hidup orang Makassar, yang melahirkan penghargaan atas sesama manusia. Bentuk penghargaan itu dimanifestasikan melalui sikap budaya “sipakatau”. Artinya, saling memahami dan menghargai secara manusiawi.

Dengan pendekatan sipakatau, maka kehidupan orang Makassar dapat mencapaui keharmonisan, dan memungkinkan segala kegiatan kemasyarakatan berjalan dengan sewajarnya sesuai hakikat martabat manusia. Seluruh perbedaan derajat sosial tercairkan, turunan bangsawan dan rakyat biasa, dan sebagainya. Yang dinilai atas diri seseorang adalah kepribadiannya yang dilandasi sifat budaya manusiawinya.

Sikap Budaya Sipakatau dalam kehidupan orang Makassar dijabarkan ke dalam konsepsi Sirik na Pacce. Dengan menegakkan prinsip Sirik na Pacce secara positif, berarti seseorang telah meneapkan sikap Sipakatau dalam kehidupan pergaulan kemasyarakatan. Hanya dalam lingkunagn orang-orang yang menghayati dan mampu mengamalkan sikap hidup Sipakatau yang dapat secara terbuka saling menerima hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.

Sipakatau dalam kegiatan ekonomi, sangat mencela adanya kegiatan yang selalu hendak “annunggalengi” (egois), atau memonopoli lapangan hidup yang terbuka secara kodrati bagi setiap manusia. Azas Sipakatau akan menciptakan iklim yang terbuka untuk saling “sikatallassi” (saling menghidupi), tolong-menolong, dan bekerjasama membangun kehidupan ekonomi masyarakat secara adil dan merata. 12)

Demikianlah Sipakatau menjadi nilai etika pergaualan orang Makassar yang patut diaktualisasikan di segala sektor kehidupan. Di tengah pengaruh budaya asing cenderung menenggelamkan penghargaan atas sesama manusia, maka sikap Sipakatau merupakan suatu kendali moral yang harus senantiasa menjadi landasan. Hal itu meningkatkan budaya Sipakatau juga merupakan yuntunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan azas Pancasila, terutama Sila Ketiga yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

Sistem Kemasyarakatan

H. J. Friedericy menggambarkan pelapisan masyarakat Bugis dan Makassar yang dibuatnya berdasarkan buku kesusteraan asli Bugis dan Makassar, la galigo. Menurut nya terdiri dari tiga lapisan yakni:


a) anakarung atau ana’karaeng dalam bahasa Makassar. Lapisan ini adalah lapisan kaum kerabat raja-raja.

b) to maradeka dalama bahasa Makassar, lapisan ini adalah lapisan orang merdeka.
c) ata, yakni lapisan budak.


Dalam usahanya untuk mencari latar belakang terjadinya pelapisan masyarakat, Friedericy berpedoman kepada peranan tokoh-tokoh yang disebut dalam la galigo dan ia berkesimpulan, bahwa masyarakat Bugis dan Makassar pada mulanya hanya terdiri dari dua lapisan masyarakat. Lapisan Ata merupakan suatu perkembangan kemudian yang terjadi dalam zaman perkembangan dari organisasi-organisasi pribumi di Sulawesi Selatan.

Pada abad ke-20 lapisan ata dihilangkan karena larangan dari pemerintah colonial dan desakan dari tokoh agama setempat. Sesudah perang dunia ke-2, arti dari perbedaan antara lapisan karaeng, to maradeka, dan ata. Dalam kehidupan masyarakat juga sudah mulai berkurang dengan cepat, walaupun masih dipakai, toh tidak lagi mempunyai arti seperti dulu dan sekarang justru sering diperkecil dengan sengaja . Sebab Stratifikasi social lama, sering dianggap sebagai hambatan untuk kemajuan.

Bentuk Perkampungan

Bentuk desa di Sulawesi Selatan sekarang merupakan kesatuan-kesatuan administratif, gabungan sejumlah kampong lama (desa gaya baru). Suatu kampong lama, biasanya terdiri dari sejumlah keluarga yang mendiami 10-200 rumah, letak rumahnya berderet menghadap ke selatan atau barat. Jika terdapat sungai di desa maka diusahakan agar rumah-rumah dibangun dengan gaya membelakangi sungai. Pusat dari kampong lama merupakan suatu tempat keramat (pocci tana) dengan suatu pohon waringin yang besar dan kadang-kadang terdapt juga rumah pemujaan (saukang).

Sebuah kampong lama dipimpin seorang motowa (kepala desa) beserta kedua pembantunya disebut sariang atau parennung. Gabungan kampong dalam struktur asli disebut wanua dalam bahasa Bugis pa’rasangan atau bori dalam bahasa Makassar. Pemimpin wanua disebut (arung palili) untuk suku Bugis, Makassar sendiri yakni(karaeng) .

Bentuk rumah dan masjid, dibangun diatas tiang dan terdiri dari tiga bagian yang masing-masing mempunyai fungsi khusus yaitu : a. rakaeng dalam bahas Bugis atau pammakkang dalam bahasa Makassar, yakni bagian rumah dibawah atap yang dipakai untuk menyimpan padi, persediaan pangan, dan juga benda-benda pusaka b. awaso dalam bahasa Bugis atau passiringang dalam bahasa Makassar, bagian dibawah lantai panggung dipakai untuk, menyimpan alat-alat pertanian , kandang ayam, kambing, dan sebagainya. Pada zaman sekarang tempat ini berubah fungsi menjadi tempat tinggal manusia.

Hampir semua rumah Bugis dan Makassar yang berbentuk adat, mempunyai suatu pangggung di depan pintu masih dibagian atas dari tangga, panggung ini biasa disebut tamping, tempat bagi para tamu untuk menunggu sbeleum dipersilahkan oleh tuan rumah untuk masuk keruang tamu.

Proses pembangunan untuk rumah suku Bugis dan Makassar, biasanya menggunakan beberapa ramuan pada tiang utama yang akan didirikan, bahakan, kadang-kadang menggunakan kepala kerbau setelak kerangka rumah berdiri. Proses semacam ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya malapetaka.

Sistem Kekerabatan

a) Pernikahan

Pernikahan adalah salah satu cara untuk melanjutkan keturunan berdasarkan cinta kasih, selanjutnya pernikahan juga memperat hubungan antar keluarga, antar suku, bahkan antar bangsa. Dengan hubungan pernikahan dapat membuat suatu ikatan yang disebut massedi siri berarti bersatu dalam mendukung dan mempertahankan kehormatan keluarga. Pernikahan ideal yakni terjadi bila mereka mendapat jodoh dalam lingkup keluarganya sendiri seperti :

a) siala massappisiseng yakni pernikahan antarsepupu sekali,

b) siala massappokadua yakni pernikahan antrsepupu kedua kali,

c) siala massappokatellu yakni pernikahan antara spepupu ketiga kali

b)Pembatasan jodoh

Dalam masyarakat Bugis dikenal adanya pelapisan sosial golongan, maka terjadi pula pembatasan jodoh dalam hubungan pernikahan. Pada zaman lampau anak keturunan bangsawan dilarang berhubungan dengan orang biasa, jika dilanggar maka pasangan ini dikenakan hukuman riladung yang artinya pelanggar dikenakan hukuman berat yaitu keduanya akan ditenggelamkan kedalam air.

c) Syarat-Syarat Untuk Menikah

Seorang pria yang akan menikah harus memenuhi syarat yakni : nallebi mattulilingi dapurengnge wekka pittu, artinya ia harus mampu mengelilingi dapur sebanyak tujuk kali, bila ia mampu mengadakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari maka ia boleh kawin.

d) Tata Cara Peminangan

Mappesek-pesek suatu cara untuk mengetahui sudah terikatnya si wanita yang dipilih atau tidak samasekali.

Madduta yakni pengiriman utusan dari pihak pria untuk mengajukan lamaran. Utusan ini harus orang yang dituakan dan tahu seluk beluk madduta.

e) Waktu Pelaksana Pernikahan

Tahap yang ditempuh untuk menikah yakni acara mappetu ada atau memutuskan kata sepakat, di acara ini juga dibahas masalah tanra esso (penentuan hari), balanca (uang belanja), dan sompa (mahar)

f) Mappacci

Mappacci yakni perawatan bagi calon pengantin wanita sebelum pelaksaan pernikahan.
Selain upacara pernikahan terdapat juga upacara keselamatan kehamilan dan upacara kematian, dalam upacara keselamatan kehamilan tahapan yang dilakukan yakni: makkampai sandro (menghubungi dukun), mappare to mangideng (memberi makan orang mengidam. Dalam upacara kematian biasanya diutus dua atau tiga orang untuk memberi tahu kerabat dekat kemudian, penguburan akan dilaksanakan, setelah dilaksanakan akan diadakan bilampeni atau upacara keselamatan yang diadakan sejak hari penguburan jenazah, dan mattampung pada hari ketujuh dan kesembilan diadakan upacara ini.

Religi dan Adat yang Keramat

Orang Bugis dan Makassar yang tinggal di daerah pedesaan masih terkait norma-norma yang keramat dan sifatnya sakral, biasa disebut panngaderreng. Sistem adat ini terbagi menjadi 5 unsur:

a) Ade, terbagi menjadi dua

Ade akkalabinengeng, unsur ini mengenai hal ikhwal perkawinan serta hubungan kekerabatan dan sopan santun dalam pergaulan antarkerabat. Ade tana, unsur ini mengenai hal ikhwal bernegara dan memerintah suatu negara berwujud hokum negara, hokum antarnegara, serta etika dan pembinaan insan politik.

b) Bicara, adalah konsep yang bersangkut paut dengan paradilan atau kurang lebih sama dengan, hukum acara serta hak-hak dan kewajiban seseoranmng yang mengajukan kasusnya ke pengadilan.

c) Rappang, berarti contoh, perumpamaan, kias, atau anologi. Unsur ini menjaga kepastian dari suatu hukum tak tertulis, dalam masa lampau sampai sekarang. Selain itu rappang juga berisi pandangan-pandangan keramat untuk mencegah tindakan-tindakan yang bersifat gangguan terhadap hak milik, serta ancaman terhadap warga negara.

d) Wari, adalah unsur yang mengklasifikasikan segala benda, peristiwa, dan aktifitas dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, untuk memelihara tata susunan dan tata penempatan benda di kehidupan bermasyarakat, untuk memelihara jalur keturunan yang mewujudkan pelapisan sosial, untuk memelihara hubungan kekerabatan antara raja suatu negara dengan raja negara lain.

e) Sara, unsur yang mengandung pranata-pranata dan hukum islam, serta unsur yang melengkapi keempat unsur lainnya.

Religi suku Bugis dan Makassar pada zaman pra islam adalah sure galigo, sebenarnya keyakinan ini telah mengandung suatu kepercayaan pada satu dewa tunggal, biasa disebut patoto e (dia yang menentukan nasib), dewata seuwae (tuhan tunggal), turie a rana (kehendak yang tertinggi). Sisa kepercayaan ini masih tampak jelas pada orang To latang dikabupaten Sidenreng Rappang dan orang Amma Towa di Kajang kabupaten Bulukumba.
Saat agama islam masuk ke Sulawesi Selatan pada awal ke-17, ajaran agama islam mudah diterima masyarakat. Karena sejak dulu mereka telah percaya pada dewa tunggal. Proses penyebaran islam dipercepat dengan adanya kontak terus menerus antara masyarakat setempat dengan para pedagang melayu islam yang telah menetap di Makassar.
Pada abad ke-20 karena banyak gerakan-gerakan pemurnian ajaran islam seperti Muhammadiyah, maka ada kecondongan untuk menganggap banyak bagian-bagian dari panngaderreng itu sebagai syirik, tindakan yang taik sesuai dengan ajaran Islam, dan karena itu sebaiknya ditinggalkan. Demikian Islam di Sulawesi Selatan telah juga mengalami proses pemurnian.